Kenapa NU menolak FPI?
Masih segar melekat dalam ingatan publik bagaimana FPI kerapkali melukai perasaan warga NU saat Rizieq Shihab menyebut KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dengan buta mata dan buta hati dalam sebuah wawancara yang disiarkan live di sebuah stasiun televisi swasta. Bagi kami, kader muda NU, ujaran Rizieq Shihab tersebut sangat melukai warga NU yang sangat menghormati Gus Dur.
Gus Dur adalah mantan Ketua Umum PBNU, Presiden RI ke-4, dan cucu pendiri NU, yang pengabdiannya kepada NU dan bangsa sangat besar. Bahkan, hingga sekarang ribuan orang setiap hari masih menziarahi kuburan Gus Dur.
Kita juga menonton Youtube di mana Rizieq Shihab secara terbuka menyebut kata-kata yang tidak pantas terhadap Ketua Umum PBNU KH Prof. Dr. Said Aqil Siradj. Berbeda pendapat adalah hal yang biasa, termasuk di dalam lingkungan NU, bahkan perbedaan pendapat menjadi salah satu khazanah NU. Tapi melontarkan kata-kata yang tidak pantas dan tidak etis terhadap Ketua Umum PBNU tentu merupakan salah satu tindakan yang secara moral tidak bisa diterima.
Selain hal yang bisa dilihat secara visual, sebenarnya ada hal-hal yang bersifat prinsipil yang menjadi landasan NU menolak FPI.
*. Pertama, Islam adalah agama yang membawa rahmat dan kasih sayang kepada siapa pun. Karena itu, inti dari Islam adalah persaudaraan (al-ukhuwwah). Persaudaraan merupakan tiang Islam, negara, dan kemanusiaan.
Untuk itu, ulama NU menggarisbawahi tiga model pesaudaraan: persaudaraan keislaman (al-ukhuwwah al-islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (al-ukhuwwah al-wathaniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan (al-ukhuwwah al-basyariyyah).
Karenanya, jika ada pihak-pihak yang ingin menampilkan wajah Islam yang penuh amarah, apalagi menebarkan kebencian dan kekerasan, sebenarnya dapat mengganggu persaudaraan. NU bertahun-tahun menjadi “jimat bangsa” dengan membangun harmoni antara sesama warga negara, apa pun agama dan keyakinannya. Sebab, sebuah bangsa tidak akan berdiri tegak jika harmoni di antara warganya tidak terwujud.
*. Kedua, paham Ahlussunnah wal-Jamaah NU mempunyai karakteristik tersendiri. Menurut KH Achmad Siddiq dalam Khitthah Nahdliyyah, ada dua karakteristik Ahlussunnah wal-Jamaah NU, yaitu moderat, memilih jalan tengah (al-tawassuth), tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Selain itu, karakter yang menonjol adalah menebar rahmat kepada siapa pun (rahmatan lil ‘alamin).
Karena itu, dakwah-dakwah NU mengutamakan kearifan, nasihat yang santun, dan debat yang rasional-konstruktif. Jihad yang dilakukan oleh NU adalah jihad kebangsaan dalam rangka mewujudkan kemerdekaan dan jihad kemanusiaan dengan melakukan pendidikan dan pelayanan masyarakat melalui pesantren-pesantren dan ekonomi kerakyatan.
*.Ketiga, sebagai organisasi yang dipimpin oleh para ulama, NU sangat mengedepankan keteladanan dan akhlak mulia. Ulama adalah pewaris para Nabi, karenanya ia mewarisi akhlak mulia, yang ucapan-ucapannya harus menginspirasi, bukan memprovokasi. Menurut KH Achmad Siddiq, ciri-ciri ulama antara lain: takwa kepada Allah SWT; mewarisi ucapan, perbuatan, dan akhlak Nabi Muhammad SAW; tekun beribadah, asketis, berilmu luas, mengedepankan kemaslahatan umum, dan mengabdikan ilmunya untuk Allah SWT.
*. Keempat, NU akan selalu mematuhi pemimpin yang dipilih secara sah, tidak melakukan makar, meski tidak kehilangan sikap kritis. Sikap ini diambil dalam rangka memastikan negara dalam keadaan kondusif, tidak dalam keadaan turbulen, dan penuh gonjang-gonjing.
*. Kelima, NU akan menjadi menjaga Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam Muktamar NU 1984, NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Lalu, pada Musyawarah Alim Ulama 2006 di Surabaya, NU menegaskan kembali Pancasila sebagai dasar negara yang bersifat final.
Sikap NU yang demikian ini penting untuk diketahui publik, khususnya warga NU agar senantiasa menjadi kelompok mayoritas yang melindungi kelompok minoritas. Bukan hanya itu, NU dapat menjadi pelopor bagi kokohnya solidaritas kebangsaan.